Saung ini Akan Ditutup

Izinkan aku memperkenalkan padamu tentang saung ini...

Saung rapuh nan ringkih ini adalah tempat lahirnya segumpal pikiran yang tersusun dari kata, memori, pengalaman, dan semua yang terakumulasi sehingga hadirlah seorang yang menamai saung ini dengan namanya sendiri. dibangunnya saung ini ia tujukan untuk berbagi semua yang ada dan layak untuk dibagi sembari belajar bersama mereka yang bersedia singgah disini. Karena memang tempat ini juga dibangun untuk belajar.

Siapapun, bagaimanapun, kapanpun, dan untuk apa saja boleh mampir seraya melepas penat dan kemudian melanjutkan pengembaraan. Berteduh dari panas terik atau rintik rinai hujan. Datang tanpa undangan pergi tanpa pamitan pun juga tidak mengapa. Pastinya, selama berada disini aku akan berusaha untuk memberikan kenyamanan dan silakan cicipi setiap sajian hidangan yang ada.

Aku takkan mempermasalahkan apapun yang kau lakukan, selama mampu memberikan kebaikan bagimu, mari kita usahakan. “Yok, bisa yok...”; “semangat yaa...”; “ada yang perlu dibantu kah?”; “kalo ada perlu, kabarin aja yaa...”; “gimana kabarnya? Projek kemarin gimana?” akan menjadi kata-kata yang sering kau dengar ketika kita bercengkrama di saung ini. Karena aku senang melihat saung ini ramai dan aku bisa berkembang tumbuh ranum bersamamu. Bahkan kadang kala aku yang memanggilmu untuk mampir barang sejenak.

Perasaanmu tak menjadi pertimbanganku dan perasaanku bukan menjadi tanggung jawabmu. Apapun itu, gasken aja selama prosesnya enjoy. Saung ini, sekalipun dengan bebas kau boleh keluar masuk, aku tak pernah beranggapan kau memandang ini seperti WC umum. Bahkan tak sedikitpun dalam benakku berpikir kau hadir untuk merepotkanku. Karena aku selalu sadar, setiap yang kita lakukan suatu kelak akan kembali pada kita. Kita, bukan hanya aku atau hanya kamu. Selama kau suka, dan ingin menetap. Aku menyukai itu.

Waktu pun berputar, sekitar dua bulan yang lalu aku bertemu seseorang dan saat itu mendapati bahwa diriku sungguh kerdil, naif, dan polos. Jika agak kasar mau dikatakan; sotoy, letoy, bego, sok-sok an, gila urusan, egois, banyak mau, cerewet, posesif, dan lain-lain.

Selama ini aku merasa saung ini kubangun dengan kesadaran penuh bahwa aku mampu menanggung semua itu. Padahal semestinya semakin kita belajar, semakin kita bisa merasa. Bukan merasa bisa. 𝑠𝑐𝑖𝑜 𝑚𝑒, 𝑛𝑒𝑠𝑐𝑖𝑟𝑒 kalo ungkapan filosofisnya.

Nyatanya aku tak mampu bahkan memahami diri ini dan maunya apa. Memiliki alasan dari setiap keputusan. Landasan dari setiap pilihan. Suatu kelak akan jadi apa.

Dengan kondisi inilah setiap tindakanku justru menyakiti orang lain. Ekspektasi terpatahkan oleh realita tanpa orientasi. Kalkulasi tanpa hasil. Sasaran yang nyasar tanpa arah. Langkah yang tak jelas kemana ia pergi.

Wajar saja semua yang singgah enggan tuk sungguh. Karena ternyata aku yang membuat rusuh.

Rumit ya? Tapi memang ini yang terjadi. Semua yang keluar dariku enak didengar tapi tak jelas untuk bisa dipahami.

Ternyata semua kata yang kuserap dari kecapan indraku selama ini kukira mampu menuntunku untuk mengerti. Selalu kudapati tuntutan untuk mengerti. Lahirlah orang yang sok mengerti dan paham. Padahal semua masih perlu diragukan. Lucunya, tanpa ragu aku bertindak atau berucap. Merasa bahwa salah dan keliru tak memiliki konsekuensi. Padahal setiap kalkulus dari stimulus selalu memiliki dimensi akumulasi konsekuensi.

Grasa-grusu selalu tergesa-gesa. Seakan yang dipahami adalah benar dan berlaku bagi orang lain. Bahkan semua orang harus sama seperti bagaimana kupikirkan dan kuanggap baik.

Sekalipun itu terucap kala tak seorang pun mendengar, selalu ada di kepalaku tuntutan pada siapapun yang datang. Dan berambisi untuk membentuk. Seakan perbedaan harus memiliki perubahan. Tanpa pernah memikirkan apakah menjadi benar bagiku akan baik-baik saja bagi orang lain? Mengapa menerima perbedaan dan hanya membiarkan kemudian memastikan ‘tumbuh sehat’ begitu sulit? Padahal pendidikan itu menuntun, bukan menuntut.

Tahukah kamu darimana aku memahami semua itu? dari DIA. Si Pembelajar Kecil yang pemberani dan sederhana.

Dengan segala keterbatasanku dan rapuhnya saung ini, ia terima semua itu. Namun aku pun juga tak mampu memahami bagaimana perasaanku dengan benar. Sebenarnya, aku juga tak bisa memahami dengan benar semua tentangnya. Aku ingin sekali bisa mengerti. Meskipun mungkin itu tak sepenuhnya mampu.

Selama bersamanya, saung ini terasa lebih asik. Dan banyak sekali pelajaran berharga dalam hidup kudapati selama ia berada bersamaku di saung ini. Ingin rasanya meminta agar ia menetap tuk tinggal disini. Namun apalah daya, aku tak bisa memaksa.

Hal-hal yang membuatku menyukainya bahwa ia mampu menjadi guru yang tidak menggurui, pelajaran tanpa pembelajaran, berlaku tanpa mendaku, dan masih banyak lagi. Kalo boleh gombal sedikit, barangkali jika saung ini makalah, ia adalah kesimpulan yang tak ringkas, namun padat dan jelas. Bisa jadi ucapan ini agaknya berlebihan, tapi aku tak mengerti bagaimana lagi mengucap rasa terimakasih atas pertemuan ini.

Itulah mengapa perbedaan patut untuk diterima bahkan dihargai. Karena sampai kapanpun yang paling sulit untuk dipahami di dunia ini adalah manusia. Sekalipun saung ini bukan persinggahan pertama, kehadirannya menjadi yang utama bagi pembelajaranku di saung ini. Semua tentang kami di saung ini takkan bisa kulupakan. Tumbuh ranum bersamanya menjadi satu hal yang kuharapkan.

Betewe, kemana sih pembicaraan ini?

Intinya, sepertinya memang sudah waktunya saung ini ditutup, aku tak ingin lagi ada yang menyusup, biarkan aku bersamanya berada di dalam. Namun jika kamu membutuhkanku, cukup panggil aku dan jangan lupa mengetuk ‘pintu’.

 

Bontang, 15.05.2022
01.23 WITA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips-Tips Membaca Buku ala Saung Hizba

Kuliah, buat apa!?