Kontekstualis yang Lupa Teks


Kontekstualis yang Lupa Teks
Oleh: Hizba M.A
Modernitas dan perkembangan zaman merupakan akar permasalahan dari tulisan ini. Namun, modernitas dan perkembangan zaman tidak bisa kita salahkan dan permasalahkan. Bagaikan angin laut yang tidak untuk dilawan akan tetapi untuk dimanfaaatkan ketika berlayar. Kemajuan zaman menuntut kita untuk berpikir lebih dalam, bekerja lebih keras, dan bertindak lebih bijak untuk menjaga keberlangsungan hidup umat manusia dan segala kebutuhannya dan di antara dari kebutuhan manusia ialah agama karena disitulah terdapat nilai-nilai yang tidak ditemukan dalam ilmu-ilmu yang lain yaitu etika, estetika, adab, dll yang mana dengan inilah manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Keberagamaan pada saat ini sedang membutuhkan kita untuk mengkontekstualkan ajaran agama pada kehidupan sehari-hari karena tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan zaman membawa perbedaan budaya pada zaman dulu dan masa kini. Sayangnya, akhir-akhir ini kita melihat bahwa orang-orang yang mencoba mengkontekstualisasikan permasalahan-permasalahan agama dan telah “lupa” akan teks bahkan enggan untuk mengkaji teks-teks tersebut.

Konteks dan Teks
Sebelum berlanjut pada pembahasan dalam tulisan saya kali ini, mari kita telusuri bagaimana hakikat dari konteks dan teks dalam kehidupan keberagamaan. Konteks dan teks merupakan dua hal yang tidak mungkin kita pisahkan dalam mengkaji berbagai permasalahan, teks adalah tulisan dan apa yang dilihat itulah yang menjadi makna dan patokan oleh karena itu disebut pembahasan secara tekstual jadi teks tidak boleh diubah-ubah dan dibutuhkan otentisitas dari teks tersebut karena pembahasan teks tujuannya adalah melihat bagaimana isi dari teks sehingga kita mendapatkan pengetahuan yang otentik sebagaimana yang didapatkan orang-orang terdahulu. Konteks adalah keadaan dimana sesuatu itu terjadi yang dimaksud disini ialah bagaimana teks bisa diperluas maknanya dan dibawa pada realita yang terjadi saat ini.

Pada hakikatnya dua hal ini perlu dikaji tanpa mengedepankan antara satu dan yang lainnya karena hal ini berkesinambungan. Teks sebagai landasan untuk menentukan konteks yang pastinya dibutuhkan otentisitasnya dan konteks atau pengkajian secara kontekstual untuk membuktikan bahwa islam itu rahmatan lil alamiin.

Melupakan Teks
Akhir-akhir ini kerap kali kita mendapati kaum intelektual menuntut akan adanya kontekstualisasi pada teks-teks agama (Al-Qur’an dan Hadits) agar dapat diterima oleh khalayak ramai dan bahkan tak jarang kita dapati mereka terkadang menganggap orang-orang yang masih berpegang pada kajian tekstual sebagai konservatif. Dan kaum muda sekarang khususnya mahasiswa sedang mencoba untuk mengkontekstualisasikan apa yang mereka dapati pada agama entah mengutip hadits ataupun Qur’an yang terkadang melenceng jauh dari teks itu sendiri bahkan liberalisme itulah yang saya maksud dalam “melupakan teks” pada tulisan ini. Tetapi pada pembahasan kali ini saya tidak ingin membahas hal ini lebih jauh melainkan ke pembahasan “mengapa kita melupakan” dan “bagaimana sebaiknya memahami ajaran agama”.

            Sesungguhnya alasan mengapa kita “melupakan” teks adalah kemalasan dan kesombongan. Mengapa demikian? Sampai saat ini kita sering sekali mendapati mahasiswa dan kaum intelek mengkritik, berkomentar,dan bahkan terkadang mengolok-olok orang-orang yang berdakwah atau memberi pengajian tentang kitab-kitab dengan landasan hadits dan Qur’an tanpa menyertakan bagaimana menalar dan membahas lebih dalam secara kontekstual tetapi mereka tidak tahu teks asli, dari kitab apa, hadits riwayat siapa, surah QurĂ¡n yang mana dan hal ini disebabkan pendalaman kita terhadap dirasah islamiyah itu sangat dangkal serta kita malas dan merasa pelajaran di kelas telah mumpuni yang sebenarnya itu tidaklah cukup. Kita tidak mendapati kajian-kajian kitab klasik yang mana butuh pendalaman seperti tafsir, syarah hadits, akhlaq dan mengikuti pengajian kitab di masjid-masjid adalah salah satu pintunya karena yang mengkaji biasanya yang sudah menguasai bahasa arab dan kebanyakan dari ustadz-ustadz tersebut sudah mempelajarinya lebih dahulu pada saat mereka kuliah. Padahal pengajian kitab pada dasarnya harus dibahas secara tekstual dahulu dan setelah memahami makna secara tekstual yang mana pengkajiannya harus otentik tanpa ada perubahan apapun lalu beranjak kepada pengkajian kontekstual karena kitab-kitab itu berbahasa arab dan tidak semua telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia.

            Kembali kepada orientasi seorang muslim dalam menuntut ilmu ialah untuk memperkuat keimanan. Bagaikan padi yang semakin berisi semakin merunduk begitu pula ilmu, semakin berilmu seseorang maka semakin beriman ia. Jika hal itu malah berlaku sebaliknya maka ada yang salah dengannya.

            Dengan mengikuti kajian-kajian kitab kita mampu memperdalam pengetahuan kita tentang dirasah islamiyah sehingga apa yang menjadi kebutuhan dasar pada pembahasan kontekstual mampu berjalan sesuai dengan yang semestinya tanpa ada penyelewengan yang pada akhirnya menggiring kita pada liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Pembahasan secara kontekstual tidaklah salah karena pasti meliputi pembahasan secara sosiologis, filosofis, dan bahkan ke semua aspek pada kehidupan yang mampu membawa dan membuktikan pada dunia bahwa ajaran islam merupakan rahmatan lil alamin. Yang menjadi permasalahan jika kita mengedepankan antara satu dan yang lainnya atau melupakan yang satu atau yang lainnya. Pengetahuan tentang agama bukanlah pilihan ataupun keahlian tetapi ini adalah kebutuhan bagi kita karena dengan agama kita menjalani hidup dan dengan itu juga kita ingin mati wa laa tamuutunna illa wa antum muslimuun.

Di akhir pembahasan ini saya ingin menyampaikan bahwa perjalanan seorang intelektual, muballigh dan bahkan manusia haruslah bersifat terbuka dengan berbagai pikiran, budaya, dan lain-lain terlepas dari ingin menerima atau tidak. Jika baik diterima jika tidak maka ditolak. Karena berdakwah haruslah dengan hikmah, mau’izhah hasanah, wa jaadilhum billati hiya ahsan(Qs. An-nahl; 125) bagaimana kita mampu berdakwah dengan hikmah jika kita tidak terbuka dan melawannya dengan hal yang baik jika kita tidak mampu memahami islam dengan kaffah (tekstual dan kontekstual) jangan sampai berat sebelah. Jadi, yang suka ngaji kitab jangan alergi sama filsafat, yang suka filsafat jangan malas ngaji.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips-Tips Membaca Buku ala Saung Hizba

Saung ini Akan Ditutup

Kuliah, buat apa!?