Sang Primata Bernama Rasis
Sang Primata Bernama Rasis
Oleh: Hizba M.A
Beberapa pekan
terakhir ini isu diskriminasi
ras menjadi diskursus hangat bagi masyarakat indonesia baik dari politikus,
akademisi, mahasiswa bahkan pemuka agama. Sesungguhnya permasalahan
diskriminasi ras sudah berlangsung sejak lama di indonesia bahkan dunia, tetapi
hal ini kembali menjadi trend pasca tragedi pengrusakan bendera di depan asrama
papua Surabaya oleh oknum penghuni asrama tersebut begitupun tulisan ini yang
merupakan reaksi atas tragedi yang menimpa negeri ini. Pada tulisan kali ini
saya tidak mengulas tragedi tersebut secara kronologis akan tetapi yang menjadi
pembahasan kali ini ialah permasalahan diskriminasi ras yang masih terjadi di
Indonesia dan pembahasan ini melalui pendekatan historis dan sosiologis lalu
ditutup dengan mengangkat beberapa ayat Al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan
dalam upaya menghapus diskriminasi ras.
Ketika kita membicarakan seputar
rasisme di Indonesia sudah menjadi hal yang pasti semua pandangan tertuju pada
saudara kita yang tinggal di Papua. Pada awal pertemuan entah itu di kelas,
kelompok, sebuah perkumpulan, atau apapun itu saat kata-kata papua disebutkan
semua pandangan dan perhatian tertuju pada orang yang menyandang domisili papua
dan tak jarang ada dari peserta yang tertawa atau langsung bertanya bahkan
terkadang sang guru secara spontan mempertanyakan apa-apa yang di ketahuinya
tentang papua. Seakan melihat sesuatu yang langka yang berasal dari negeri nan
jauh disana. Warna kulit yang berbeda, rambut, dan logat yang berbeda daripada
orang indonesia kebanyakan menjadi sesuatu yang ikonik bagi mereka. Tak perlu
dipungkiri lagi siapapun dari kita pernah mengejek dengan hal-hal demikian saya
pun begitu. Dulu. Karena pada dasarnya memang berbeda secara keturunan orang indonesia
yang kebanyakan memiliki warna kulit sawo matang adalah keturunan malaysia dan
orang-orang papua adalah keturunan melanesia yang sejak dulu memiliki
keterkaitan dengan suku asli australia yakni aborigin inilah mengapa terdapat
perbedaan fisik.
Perlu diketahui bahwa 17 Agustus
1945 bukanlah sepenuhnya hari kemerdekaan bagi masyarakat Papua karena pada
saat itu Papua belum menjadi bagian dari NKRI. Ketika kemerdekaan Indonesia,
Belanda belum menyerahkan kekuasaan atas Papua. Dengan bantuan PBB dan Amerika
yang mendominasi disana pada tanggal 1 Mei 1963 Belanda meninggalkan Papua
dengan kesan yang dipaksakan dan pada tanggal 15 Agustus 1969 melalui
musyawarah sebagian besar warga Papua menyatakan secara resmi menjadi bagian
dari NKRI namun sampai sekarang masih banyak kritik terhadap musyawarah
tersebut lalu ditambah perbedaan antropologis dan etnologis antar masyarakat
Indonesia kebanyakan dengan masyarakat Papua.
Papua, tanah
berharga primadona para kolonial selama berabad-abad kekayaan alam yang menggiurkan merangsang para kapitalis
mencari cara bagaimana mendapatkannya. Hasutan pun merasuk ke dalam relung jiwa
yang kosong yang hanya dipenuhi oleh loyalitas pada sang kepala suku, adu domba
antar saudara pun mulai tercetus, pada akhirnya iming-iming akan kemerdekaan
sendiri pun menjadi wacana dengan dasar perbedaan ras antar papua
dan keturunan melayu indonesia kebanyakan yang sampai sekarang tak mampu
terselesaikan. Sejak abad ke-16 Spanyol telah menduduki papua yang dilanjutkan
bangsa portugis setelah itu Belanda yang menguasai selama kurang lebih
3,5abad seiring berjalannya waktu
tentara Jepang pun dengan ambisinya yang ingin mejadi Raja Asia mampu memukul mundur pasukan Belanda dengan mudahnya dan
akhir dari kolonialisme adalah Belanda kembali dengan bantuan sekutu memporak
porandakan Jepang sampai akhirnya terlahirlah New York Agreement pada tahun
1962 dengan bantuan PBB yang didominasi oleh amerika Belanda meninggalkan Papua
dengan terpaksa. Sampai pada 1969 melalui PEPERA dan proses musyawarah yang
panjang serta dari sebagian besar warga Papua, bergabunglah Papua secara resmi
dengan Indonesia dan menjadi bagian resmi NKRI. Namun meski demikian hal ini
masih menjadi kontroversi dan merupakan topik pembicaraan serta tak ketinggalan
dengan kritik-kritik dan hujatan tentang proses bersatunya Indonesia dengan
Papua.
Jika kita melihat hal ini dari sudut
pandang sosiologis, isu rasisme merupakan suatu hal yang sangat melanggar
nilai-nilai kemanusiaan atau tindakan intoleran. Karena seorang rasis tak mampu
menerima kehadiran ras lain yang mereka anggap "aneh”. Rasisme selalu terjadi secara spontan dan tidak bisa
dipungkiri kebanyakan dari kita pasti pernah melakukannya. Hal ini menimbulkan
sebuah pertanyaan “apakah rasisme itu manusiawi?” jawaban yang paling tepat
adalah “iya” lalu pertanyaan selanjutnya yaitu “lalu, apakah
rasisme itu salah?” maka jawabannya juga
“iya” . Mengapa demikian? Pada dasarnya semua hal yang masih dalam lingkup
internum adalah boleh dan sah-sah saja selama hal itu masih berada dalam
pikiran kita karena tidak ada satupun pihak lain yang dirugikan, yang salah
adalah ketika hal itu sudah sampai kepada ranah eksternum atau berupa tindakan
karena disana ada kepentingan orang banyak begitupun ada etika dan norma yang
tidak boleh dilanggar. Jika kita meenggambarkan kepribadian seorang rasis
dengan teori Sigmund Freud tentang struktur kepribadian; id, ego, dan super
ego. Orang yang tak mampu menahan id-nya
dengan ego dan super ego yang ia miliki dan seperti yang kita ketahui bahwa id adalah naluri primitive manusia yang
mana harus di kendalikan oleh ego dan
super ego.
Seorang rasis yang mengungkapkan ketidak sukaannya bahkan mendiskriminasi
suatu ras atau kelompok disebut dalam tulisan ini sebagai “sang primata” karena ia tak mampu untuk
membedakan mana yang menjadi ranah pribadi (internum) dan yang mana ranah
publik lalu kegagapan ini merupakan pemikiran primitif. Kesukaan terhadap
sesuatu tidak bisa dipaksakan mau suka ataupun tidak, itu boleh-boleh saja
asalkan tidak diutarakan dengan tindakan yang mampu merugikan dan
menjelek-jelekkan satu pihak. Jadi sebenarnya, pada zaman modern ini sentimen
rasial merupakan pemikiran orang-orang primitif, kuno, bahkan kita bisa sebut
bodoh.
Islam telah membahas tuntas tentang permasalahan diskriminas
terhadap ras yang mana hal ini dilarang keras yang terdapat pada surah
Al-Hujurat ayat 11 yang berbunyi;
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Dari sini kita dapat menyimpulkan
bahwa merendahkan, diskriminasi, mengejek-ejek suatu kaum atau kelompok dan jika
ditarik dalam pembahasan kali ini adalah ras tidaklah diperbolehkan karena bias
jadi mereka lebih baik dari kita. Selain itu dalam hadits pun juga mengatakan
bahwa “Sesungguhnya Alloh tidak melihat dari bentuk rupa dan harta kalian, akan
tetapi Alloh melihat pada hati dan perbuatan kalian”.(HR. Muslim). Hadits ini
memberi tauladan pada kita untuk tidak melihat seseorang dari “bentuk rupa”
baik itu warna kulit, bentuk tubuh, dan semua yang meliputi bentuk fisik
seseorang. Dan yang terakhir terdapat pada Surah Al-Hujurat ayat 13 yang
menyatakan bahwa semua perbedaan itu agar kita saling kenal dan dilanjutkan
bahwa yang paling mulia di antara kalian
adalah yang paling bertaqwa bukan yang lain.
Diskriminasi terhadap ras dan
tindakan rasisme merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam hal
apapun karena pada hakikatnya semua manusia itu setara meskipun berbeda warna
dan bentuk. Perbedaan haruslah menciptakan perpaduan bukan perselisihn apalagi
perpecahan. Sungguh pemikiran yang primitif bagi mereka yang masih
menyombongkan diri memandang rendah orang lain khususnya dalam tindakan
rasisme.
Komentar
Posting Komentar