Politik Kampus: Takhayul Politik Nilai


Politik Kampus: Takhayul Politik Nilai
Oleh: Hizba M.A

"Sayangnya saat ini, politik nilai yang diagung-agungkan oleh mahasiswa hanyalah takhayul. Nilai yang seharusnya menjadi bargaining power bagi tiap partai jatuh dan terhalang. Konsolidasi tak menentu, tanpa gagasan yang tentu, lalu diskursus hanya dipenuhi sesebaran aib lawan."

Mahasiswa. Mereka yang mendesak Bung Karno untuk proklamasi dan mereka juga yang melengserkan Pak Harto lalu mencetuskan reformasi. Akal, nalar, dan naluri membuat mahasiswa tetap tegak dengan idealismenya yang tak goyah dengan berbagai desakkan kepentingan. Saya mengatakan inilah yang disebut pikiran otentik dari rasio dan rasa yang kokoh di atas idealisme.

Politik nilai, adalah politik yang murni sebagaimana awal mula lahirnya politik dari yunani seperti yang dicontohkan oleh para filsuf seperti plato dan aristotle. Yang murni hanya untuk maslahat bersama. Siasat yang disusun dan dijalankan untuk mendistribusikan keadilan hingga lahirnya kesejahteraan. Seiring berkembangnya zaman, istilah zoon politicon yang awalnya adalah bentuk difference of species antara manusia yang artinya “hewan yang berpolitik” sekarang berubah menjadi “hewan berpolitik” karena rasio dan rasa tak lagi untuk kesejahteraan melainkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan tidak berbeda dari hewan yang rakus dan tak pernah puas untuk memangsa.

Kawan yang esok menjadi lawan. Saling menjegal dengan segala macam cara sehingga lupa etika sebagai manusia. Inilah yang membuat mahasiswa resah dan ingin kembali pada romantisisme politik nilai. Bukan identitas, uang, dan kekuasaan yang dipolitisasi melainkan nilai. Dan nilai kemanusiaan adalah poin besar yang menjadi fokus dari politik kampus.

Sayangnya saat ini, politik nilai yang diagung-agungkan oleh mahasiswa hanyalah takhayul. Nilai yang seharusnya menjadi bargaining power bagi tiap partai jatuh dan terhalang. Konsolidasi tak menentu, tanpa gagasan yang tentu, lalu diskursus hanya dipenuhi sesebaran aib lawan. Serangkaian agenda serta program kampanye hanya berisi asumsi tanpa ada argumentasi. Mencari panggung demi legitimasi dengan modal orasi yang tak mampu menjadi fondasi dari nilai yang ingin dijadikan ladang ideologisasi. Lahirnya sentimen dan matinya argumen membuat perdebatan ideologis sirna dalam panggung politik kampus yang seharusnya menjadi difference of species antara politik kampus dan politik nasional. Dan akhirnya politik nilai hanya menjadi mantra untuk bergerak. Inilah mengapa saya mengatakan hal ini takhayul. Khayalan.

Izinkan saya untuk membuktikan asumsi tersebut dengan realita saat ini. Berkaca pada pemira yang baru saja diselenggarakan di kampus beberapa hari yang lalu. Sebagai masyarakat mahasiswa, saya dan kawan-kawan tidak mendapati politisasi nilai dari kedua kubu baik oposisi dan petahana. Kampanye di fakultas pun tak terdengar. Pihak penyelnggara hanya menjadi panitia yang siap sedia untuk terlaksananya pemira. Yang lucunya lagi, secara serentak semua pihak menyalahkan secara sepihak komisi penyelenggara. Sedangkan jika kita melihat bahwa masalah ini berakar dari partisipasi politik di kampus yang mana bukan menjadi tanggung jawab KPUM-KM semata melainkan semua pihak yang menjadi kontestan dalam perpolitikan. Tak terlepas dari lembaga-lemabaga KM terkhusus BEM yang bertnggung jawab sebagai eksekutor penggerak mahasiswa bukan hanya event organizer dan dalam kasus ini adalah partisipasi politik mahasiswa. Majalah dinding mahasiswa sepi, akun resmi media sosial pun demikian.

Partai  politik mahasiswa pun tak mampu menjadi wadah alternatif yang aspiratif juga tidak terlihat pergerakannya sebagai kontestan serta edukator mengenai kontestasi politik saat ini.  Pemira yang tengah berlangsung nan rancu tak terasa berlalu. Bahkan paslon dan kandidat pun kami tak tahu. Tiba-tiba di tengah kerancuan ini beberapa gerakan pun timbul ke permukaan dengan slogan “boikot pemilu” serta “coblos kotak kosong” awalnya saya kagum dengan hal ini aktivisme mahasiswa kembali terpantik akan tetapi yang membuat ini konyol adalah mengapa mereka menggaungkan slogan kedua? Untuk memilih kotak kosong. Asumsi demokrasi dan aspirasi yang diusungkan jatuh pada kekeliruan yakni keberpihakan. Sehingga objektivitas kandas. Dan akhirnya bahwa politik nilai pada pertandingan politik kampus hanya sebatas TAKHAYUL.

           

Komentar

  1. Terbaiq, teruskan berpikir kritis namun harus tetap memiliki pagar, logical and source.
    Bagus bgt kkz

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips-Tips Membaca Buku ala Saung Hizba

Menutup 2020; Ekspektasi, Resolusi, dan Involusi

Saung ini Akan Ditutup